Sabtu, 25 Juni 2011

Doa untuk Anak ketika Berupa Nutfah

Sewaktu Abu Thalhah ra keluar dari rumahnya, anaknya yang sedang sakit keras menghembuskan nafas terakhirnya. Akan tetapi, istrinya, Ummu Sulaim, tidak mengabarinya saat ia pulang ke rumah dan tidak pula memperlihatkan kepadanya penampilan orang yang bersedih. Ia justru melakukan yang sebaliknya; dia merias dirinya dan mempersiapkan makan malam untuk suaminya. Abu Thalhah yang sedang lapar pun menyantap hidangan makan malamnya. Sesudah itu saat melihat istrinya telah bersolek, bangkitlah birahinya dan langsung menyetubuhi istrinya. Setelah semuanya itu berlangsung, barulah Ummu Sulaim menceritakan kepadanya dengan cara yang bijak lagi cerdas bahwa anaknya telah meninggal dunia. Pagi harinya Abu Thalhah menemui Rasulullah Saw dan menceritakan kepadanya semua yang telah terjadi antara dirinya dan istrinya. Rasulullah Saw pun mendoakan keberkatan bagi keduanya dalam persetubuhannya malam itu. Untuk itu beliau Saw bersabda:
"Semoga Allah memberkati malam hari yang telah kalian berdua jalani."

Selang beberapa masa kemudian, lahirlah seorang bayi yang diberi nama Abdullah oleh Nabi Saw dan berkat doa Nabi Saw, setelah anak itu dewasa dan telah menikah, Allah memberinya sembilan orang anak yang semuanya hafal Al-Qur'an. Kisah ini seluruhnya ada dalam kitab Shahih Bukhari.
Di antara fenomena yang menunjukkan perhatian Islam kepada anak semasa masih berupa nutfah di dalam rahim ibunya ialah nafkah yang diperintahkan oleh Islam untuk sang ibu yang telah ditalak tiga, sedang ia dalam keadaan hamil. Nafkah ini sebenarnya adalah untuk bayi yang ada di dalam kandungannya, bukan untuk ibunya, karena hak nafkah baginya otomatis telah gugur dengan talak tiga yang telah dijatuhkan oleh sang suami kepada dirinya.


Seorang wanita yang diceraikan oleh suaminya sebanyak tiga kali, berarti harus berpisah dengannya dan menjadi wanita lain, tanpa punya hak untuk menerima nafkah atau jaminan tempat tinggal darinya. Demikianlah menurut pendapat yang diunggulkan di kalangan ulamah fikih, terkecuali jika wanita yang bersangkutan dalam keadaan hamil, maka menurut kesepakatan semua ulama ia masih berhak mendapatkan nafkah dari suaminya. (Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, juz 8/232). Sehubungan dengan hal ini, Allah Swt telah menyebutkan dalam firman-Nya:
"Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka itu nafkahnya hingga mereka bersalin." (QS. Ath-Thalaq [65}: 6).

Tidaklah sekali-kali kewajiban memberi nafkah masih dibebankan atas pihak suami terhadap wanita mengandung yang telah ditalak bain olehnya, melainkan hanyalah karena demi bayi yang tiada jalan untuk memberi nafkah kepadanya, kecuali dengan memberi nafkah kepada ibunya, karena sang bayi hanya bisa menyerap makanan dari ibunya. Sehubungan dengan hal ini, Ibnu Qudamah telah menyatakan bahwa karena bayi yang dikandung adalah anak dari lelaki yang telah menceraikannya, maka sudah menjadi kewajiban bagi mantan suami atau ayah bayi yang dikandungnya untuk memberi nafkah kepadanya. Demikian juga karena pemberian nafkah kepada sang bayi tidak mungkin dilakukan secara langsung, kecuali melalui ibunya, maka memberi nafkah kepada ibunya adalah hal yang wajib sama halnya dengan upah menyusui. (Al-Mughni dan Al-Jami' li Ahkamil Qur'an juz 18 hal. 166-167). Demikianlah perhatian Islam yang begitu besar kepada anak ditinjau dari segi kewajiban memberi nafkah kepadanya.

Di antara perhatian Islam yang besar kepada bayi adalah menjaganya dari hal-hal yang dapat membahayakan kesehatannya semasa ia berada di dalam rahim ibunya. Oleh karena itulah, diperbolehkan bagi ibu yang sedang hamil, bila merasa khawatir dengan kesehatan janinnya, untuk berbuka dalam bulan Ramadhan; perihalnya sama dengan orang yang sakit dan orang yang sedang musafir. Bahkan sebagian ulama ada yang membebaskannya dari kifarat, tetapi tidak untuk wanita yang sedang menyusui. Para ulama mengatakan bahwa demikian itu karena kedudukan janin sama halnya dengan bagian dari tubuh wanita yang mengandungnya dan kekhawatiran akan keselamatannya sama dengan kekhawatiran terhadap keselamatan sebagian dari anggota tubuh wanita yang bersangkutan. Berbeda halnya dengan kasus wanita yang menyusui jika tidak dapat menyusui bayinya, karena bisa saja ia mengupah wanita lain untuk menyusui anaknya. (Al-Mughni karya Ibnu Qudamah 3/149, 150). Para ulama mengkategorikan kasus wanita yang menyusui ini ke dalam masalah yang disebut oleh firman-Nya:
"Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang orang miskin." (QS. Al-Baqarah [2]: 184).

Perhatian lainnya yang sangat besar dari Islam kepada bayi yang masih ada dalam kandungan ibunya ialah ditangguhkannya hukuman yang berhak diterima oleh sang ibu, jika hukuman itu dapat mempengaruhi bayi yang ada dalam kandungannya atau dipastikan hukuman tersebut akan mematikan bayi yang ada dalam kandungannya. Sehubungan dengan hal ini, telah disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imran ibnu Husain ra bahwa pernah ada seorang wanita yang hamil dari kalangan Bani Juhainah datang kepada Nabi Saw, lalu ia berkata: "Wahai Nabi Allah, sesungguhnya aku telah melakukan pelanggaran yang berkaitan dengan hukuman had, maka sudilah kiranya engkau menegakkan hukuman itu terhadapku." Setelah mendengar pengakuan itu, Nabi Saw memanggil wali si wanita tersebut, lalu berpesan kepadanya:
"Rawatlah dia dengan baik. Bila telah melahirkan kandungannya, bawalah dia kepadaku kembali!"

Ia pun melakukannya. Sesudah itu Nabi Saw memerintahkan agar wanita itu diikat dengan kainnya, kemudian memerintahkan kepada mereka untuk merajamnya. Setelah selesai pelaksanaan hukuman had dan jenazahnya diurus, Nabi Saw iku menyalatkannya." (HR Muslim).
Dalam hadis lain sehubungan dengan kisah seorang wanita dari Bani Ghamidiyah yang mengaku telah berbuat zina dan meminta kepada beliau Saw agar menegakkan hukuman had terhadap dirinya. Nabi Saw bersabda kepadanya:
"Pergilah kamu sampai kamu melahirkannya!"

Setelah melahirkan, wanita itu datang dengan membawa bayinya yang ia bungkus di dalam kain, lalu ia berkata, "Ini bayinya. Aku telah melahirkannya." Nabi Saw bersabda:
"Pergilah kamu, lalu susuilah dia sampai kamu menyapihnya!"

Selang beberapa lama kemudian setelah wanita itu menyapih bayinya, ia datang lagi dengan membawa bayinya, sedang di tangan bayinya itu ada sepotong roti yang dipegangnya, lalu ia berkata, "Wahai Rasulullah, bayi ini telah saya sapih dan telah dapat memakan makanannya sendiri." Nabi Saw pun menyerahkan bayi itu kepada salah seorang di antara kaum muslim, kemudian memerintahkan agar dibuatkan galian sampai batas dada untuk wanita itu, lalu beliau Saw memerintahkan kepada orang-orang untuk merajamnya dan mereka pun segera merajamnya. (HR Muslim). 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar